Halaman

links

Yang sering dianggap membatalkan shalat, padahal bukan

Posted by YAZID RIDLA the inspirational leader On Senin, Juli 09, 2012

Yang sering dianggap membatalkan shalat, padahal bukan, yaitu: 1. Menoleh untuk Suatu Hajat/Kebutuhan Dari Jabir ra berkata, "Rasulullah saw pernah sakit, kemudian kami shalat di belakang beliau yang sedang duduk, sedangkan Abu Bakar memperdengarkan (suara) takbir Nabi saw untuk manusia, lalu beliau (Nabi) menoleh dan melihat kami dalam keadaan berdiri, lalu memberi kami isyarat untuk duduk, lalu kami pun shalat dengan duduk." (Terjemahan HR Muslim: 624) Namun, menoleh tanpa ada kebutuhan, maka hukumnya makruh. A'isyah ra bertanya tentang huukum menoleh dalam shalat, Rasulullah saw bersabda, "Itu adalah sambaran yang dilakukan setan dari shalat seorang hamba." (Terjemahan HR BUkhari: 709) 2. Berisyarat dengan Tangan untuk Menjawab Salam dan Semisalnya Dalam beberapa hadits, salah satunya HR Muslim: 624, dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah berisyarat menjawab salam, tetapi tidak diperbolehkan menjawab salam dengan perkataan/suara karena itulah yang membatalkan shalat. Ini menurut jumhur (mayoritas) ulama. Ibnu mas'ud ra berkata, "Dahulu kami mengucapkan salam kepada Rasulullah saw ketika beliau sedang shalat, lalu beliau menjawab salam kami. Akan tetapi, tatkala kami kembali dari Raja Najasyi, kami mengucapkan salam kepda beliau dan beliau tidak menjawab salam kami, lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, dahulu kami ucapkan salam kepadamu, lalu engkau jawab, (mengapa sekarang tidak engkau jawab?)' Lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.' " (Terjemahan HR Bukhari: 1140) 3. Membetulkan Bacaan Imam jika Salah atau Lupa "Nabi saw shalat (bersama kami), lalu beliau membaca bacaan kemudian beliau rancu bacaannya, lalu tatkala selesai beliau bertanya kepada Ubay ra, 'Apakah engkau ikut shalat bersama kami?' Ubay ra menjawab, 'Ya.' Lalu Rasulullah saw bersabda, 'Apa yang menghalangimu untuk membetulkan (bacaan)ku?' " (Terjemahan HR Abu Dawud: 773; dishahihkan al-Albani dalam Sifat Shalat Nabi hlm. 128) 4. Berta'awudz dan Memohon Rahmat Saat Membaca Ayat Rahmat dan Ayat Adzab Di sini terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat), apakah bisa di semua jenis shalat (fardhu dan sunnah), atau hanya sunnah saja karena Nabi saw mengucapkannya pada saat shalat sunnah. Hudzaifah bin Yaman ra berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah saw tidaklah beliau membaca ayat tentang rahmat(-Nya), melainkan berhenti lalu meminta (rahmat-Nya), dan tidaklah pula beliau membaca ayat tentang adzab(-Nya), melainkan berta'awudz darinya." (Terjemahan HR Ahmad: 22165; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaa' al-Ghaliil 2/39) 5. Berta'awudz dan Meludah ke Kiri 3x Jika Diganggu Setan Utsman bin Abil Ash berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kadang-kadang setan itu mengganggu shalatku dan mengacaukan bacaanku." Lalu, Nabi saw bersabda, "Itu adalah setan yang disebut Khinzab. JIka kamu merasakan gangguannya maka berta'awudzlah kepada Allah darinya dan meludah (ringan)lah ke arah kiri tiga kali." (Utsman berkata, [kata Utsman bin Abil Ash]) Lalu aku melakukannya kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku." (Terjemahan HR Muslim: 4083) 6. Berjalan Secukupnya Jika Ada Kebutuhan Dari A'isyah ra beliau berkata, "Rasulullah pernah shalat sunnah sedangkan pintu (di dekatnya) tertutup, laluaku datang minta dibukakan pintu, kemudian beliau berjalan dan membuka pintu untukku, lalu beliau kembali ke tempat shalatnya." (Terjemahan HR Abu Dawud: 815; dishahihkan oleh al-Albani dalam Misykaatul Mashaabih: 1005) 7. Menggendong Anak Kecil Abu Qatadah ra beliau berkata, "Rasulullah saw pernah shalat sambil menggendong Usamah binti Zainab binti Rasulillah anak dari Abil Ash bin Rabi', jika beliau berdiri beliau menggendongnya, jika beliau (hendak) sujud, beliau meletakkannya." (Terjemahan HR Bukhari: 486 dan Muslim: 844) 8. Berbicara dengan Sangkaan Shalatnya Telah Sempurna Para ulama berbeda pendapat tentang berbicara saat shalat karena lupa atau tidak tahu (tidak disengaja). Pendapat 1: menurut madzhab Hanafi dan Hambali, berbicara dengan sengaja atau tidak sengaja membatalkan shalat, pendapat ini didasari oleh keumuman perintah untuk diam dan larangan berbicara dalam shalat (dari HR Bukhari: 1125 dan Muslim: 838), dan dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan." (Terjemahan HR Bukhari: 1140) Pendapat 2, inilah yang lebih rajih (kuat), menurut madzhab Syafi'i dan Maliki, nernicara dalam shalat jika tidak sengaja baik karena lupa atau tidak tahu hukumnya maka shalatnya tetap sah, hal ini didasari oleh: 1. Kisah yang terjadi pada diri Rauslullah saw bersama Dzul Yadaini. rasulullah saw shalat hanya dua raka'at padahal seharusnya empat raka'at. Maka ketika shalatnya kurang dua raka'at, Dzul Yadaini berbicara menanyakan shalat tersebut, lalu Rasulullah saw teringat, dan beliau langsung melengkapi shalatnya diikuti sahabatnya dan sujud syahwi, dan beliau tidak mengulang shalat dari awal. Ini menunjukkan shalatnya sah walaupun di tengah shalat beliau berbicara, tetapi hal itu karena sedang lupa atau tidak tahu. (Dari HR Bukhari: 460 dan Muslim: 896) 2. Rasulullah saw pernah bersabda, "Diampuni (kesalahan) ummatku jika sebab keliru, lupa, atau dipaksa." (Terjemahan HR Ibnu Majah: 2045; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaa' al-Ghaliil 4/213) 9. Mendeham/Berdeham Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Aku memunyai satu kesempatan waktu tertentu untuk bertemu Rasulullah saw jika aku datang kepadanya aku meminta izin untuk (menemuinya), berdeham lalu aku masuk, dan jika aku dapati tidak shalat, beliau akan mengizinkanku (dengan perkataan)." (Terjemahan HR Nasai: 1212, dan dilemahkan sanadnya oleh al-Albani dalam Misykaat al-Mashaabih: 3675) Hadits ini diperselisihkan keabsahannya. Namun, mendeham tidak sama dengan ucapan/perkataan yang disepakati oleh para ulama membatalkan shalat. Imam Ibnul Mundzir mengatakan, "Para ulama sepakat bahwa berbicara bukan untuk kepentingan shalat dengan sengaja saat dia shalat, maka shalat tersebut batal." Demikian dinukil kesepakatan tersebut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, demikian pula Imam Nawawi (lihat Taudhiihul Ahkaam min Buluugh al-Maraam 1/467-148). 10. Bertasbih untuk Laki-Laki dan Menepukkan Tangan bagi Wanita Tatkala Rasulullah saw bersama sahabatnya mendatangi kabilah Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan pertikaian di antara mereka, ketika datang waktu shalat, Abu Bakar ra mengimami shalat para sahabatnya di Masjid Nabi, tiba-tiba Rasulullah saw datang, lalu para sahabat menepuk-nepuk tangannya memberi tahu Abu Bakar ra akan kedatangan Rasulullah saw, lalu beliau (Abu Bakar ra) mundur dan RAsulullah saw menggantikan posisi imam. Setelah selesai shalat, Rasulullah saw bersabda, "Mengapa aku melihat kalian banyak menepuk tangan? Siapa saja yang tertimpa sesuatu dalam shalatnya, hendaklah bertasbih karena jika dia bertasbih akan ditoleh kepadanya, adapun menepuk tangan adalah untuk kaum wanita." (Terjemahan HR Bukhari: 639 dan Muslim: 643) Cara menepukkan tangan, disebutkan oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad serta pengikutnya, yaitu dengan menepukkan bagian dalam telapak tangan kanan ke punggung telapak tangan kiri. 11. Menangis karena Allah Abdullah bin Syikhir ra berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah saw sedang shalat (aku mendengar) dari dadanya suara gemuruh karena menangis, (gemuruh itu) seperti suara mendidihnya periuk." (Terjemahan HR Nasai: 1214, dishahihkan al-Albani dalam al-Misykaat: 1000 dan Shahiih Abu Dawud: 840) Bahkan ada perintah berpura-pura menangis saat membaca al-Quran. "Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan kesedihan, jika kamu membca al-Quran maka menangislah, jika tidak dapat menangis, maka berpura-puralah menangis." (Terjemahan HR Ibnu Majah: 1337, Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubraa 10/231) 12. Mematikan Alat Komunikasi Menjadi Keharusan Gerakan ini (mematikan alat komunikasi) tergolong sangat sedikit (gerakannya) dibandingkan saat Rasulullah saw menggendong Umamah (cucunya) dan saat beliau memutar Ibnu Abbas yang berdiri di samping kiri beliau menjadi di sebelah kanannya. Apalagi mematikan alat komunikasi itu untuk kemaslahatan shalat dirinya dan orang lain yang ikut berjamaah saat itu. Membiarkan alat komunikasi berdering saat shalat sama saja membiarkan kerusakan demi kerusakan, yaitu bagi dirinya dan orang lain. Padahal, Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang mengganggu kaum mukminin dan mukminat dengan tanpa sebab kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (Terjemahan al-Ahdzaab[33]: 58) 13. Kiblat yang Kurang Tepat Orang yang dekat dan dapat melihat Ka'bah memang harus tepat menghadap Ka'bah karena demikianlah yang diperintahkan Allah swt untuk bertakwa semampunya. Bagaimana dengan orang yang jauh dari Ka'bah dan tidak dapat melihat Ka'bah? Maka wajib baginya menghadap arah Masjidil Haram. Allah swt berfirman: "Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkan wajahmu ke arah Masjidil Haram, dan di mana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya." (Terjemahan al-Baqarah [2]: 150) Apabila Masjidil Haram baginya berada di arah barat, maka yang wajib baginya menghadap arah barat meskipun tidak tepat mengenai Ka'bah, dan apabila Masjidil Haram baginya adalah di arah selatan (seperti orang yang berada di Madinah), maka kiblatnya adalah selatan (antara timur dan barat). Oleh karenanya, Nabi saw bersabda' "Antara Timur dan barat adalah kiblat." (Terjemahan HR Tirmidzi: 344; dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Misykaat: 715) Bagi orang yang berada di Indonesia, karena Masjidil Haram berada di sebelah barat, maka wajib bagi kita ketika shalat adalah menghadap arah barat, yakni antara utara dan selatan. 14. Shalat Tanpa Peci Walaupun tanpa peci itu sah karena aurat tetap terjaga (tidak terlihat), tetapi memakai pakaian sempurna dalam shalat itu termasuk yang dianjurkan Allah swt. Allah swt berfirman: "Wahai anak cucu Adam pakailah pakaiamu yang bagus di setiap (memasuki) masjid." (Terjemahan al-A'raf [7]: 31) 15. Tidak Mengeraskan "Bismillaahirrahmaanirrahiim" Ini menurut madzhab Imam Malik. Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa "Bismillaahirrahmaanirrahiim" tidak dibaca secara total dalam shalat baik shalat jahriyah maupun sirriyah. Anas ra berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua membuka bacaannya dengan 'Alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin'; mereka semua tidak mengucapkan 'Bismillaahirrahmaanirrahiim', baik di awal atau di akhirnya." (Terjemahan HR Muslim: 606) Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa "Bismillaahirrahmaanirrahiim" harus dibaca dalam shalat, hanya saja membacanya lirih tidak dijaharkan. 16. Sujud Tidak Harus di Atas Tanah yang Asli Diperbolehkan shalat di atas karpet/sajadah, tikar, atau alas lainnya. Nabi saw pernah shalat di atas tikar ketika berkunjung ke rumah Anas bin Malik ra ketika Nabi saw memerintahkannya untuk shalat bersamanya,beliau mengambil sehelai tikar yang sudah menghitam karena sering dipakai lalu ia bersihkan dengan air, lalu ia berkata, "Maka Rasulullah saw shalat di atas (tikar) tersebut, dan aku bersama anak yatim berdiri di belakangnya, sedangkan wanita tua itu di belakang kami." (Terjemahan HR Bukhari 1/389 dan Muslim 2/127) 17. Mengulang Shalat Wajib Ini maksudnya ketika shalatnya sudah selesai dilakukan secara munfarid (sendirian), lalu ternyata ada yang berjamaah setelah ia shalat. Maka, dibolehkan shalat lagi dengan ikut berjamaah dalam shalat setelahnya. Namun, shalat yang kedua tersebut hukumnya sunnah. "Jika kamu shalat di tempatmu, lalu kamu mendatangi masjid yang kamu jumpai sedang ditegakkan shalat berjamaah, maka shalatlah kamu bersama mereka, dan shalatmu (yang kedau) bagimu sunnah." (Terjemahan HR Tirmidzi: 219; dishahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Abu Dawud: 538) 18. Imam dan Makmum Berbeda Niat Dalil sama dengan yang di atas ini (poin ke-17). Selain itu, Mu'adz bin Jabal ra shalat Isya', dan Rasulullah saw di Masji Nabawi, lalu beliau mengimami kaumnya diawali shalat Isya'. Rasulullah juga pernah shalat Khauf dua kali masing-masing untuk sekelompok sahabat dan sekali yang lain untuk sekelompok sahabat yang lain yang tadinya menjaga musuh (lihat Taudhihul Ahkam 2/254). 19. Anak Kecil Boleh Menjadi Imam Ayah dari Amr bin Salamah berkata, "Aku datang dari sisi Nabi saw dengan sebenar-benarnya, jika datang waktu shalat maka hendaklah salah satu kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang paling banyak al-Qurannya menjadi imam." (Amr bin Salamah) berkata, "Kemudian manusia mencari (yang paling banyak al-Qurannya) lalu tidak ada satu pun yang lebih banyak dariku al-Qurannya sebab aku dahulu memelajarinya dari para saudagar, kemudian mereka mengangkatku (menjadi imam) padahal aku baru berumur 6 atau 7 tahun." (Terjemahan HR Bukhari: 3963) 20. Orang Buta Menjadi Imam Anas bin MAlik ra berkata, "NAbi saw pernah menunjuk Abdullah bin Ummi Maktum ra untuk menjadi imam mengimani manusia, padahal ia orang buta." (Terjemahan Abu Dawud: 595; dishahihkan oleh al-Albani dalam Misykatul Mashabih: 1121) 21. Tersenyum itu Makruh, tetapi Tidak Membatalkan Shalat Ibnul Mundzir ra berkata, "Para ulama sepakat bahwa tertawa membatalkan shalat, sedangkan tersenyum tidak membatalkan shalat menurut mayoritas ulama." ((Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 1/394, hal ini juga dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam Fatawa al-Kubra 2/227, demikian pula menurut madzhab Syafi'i seperti yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 4/22.) 22. Bersendawa Sejak zaman dahulu, para sahabat bersendawa, tetapi Rasulullah saw tidak membatalkan shalat mereka. Hanya saja, dalam Islam, kita dianjurkan menahan suara sendawa sebab membiarkan suara sendawa di hadapan orang lain termasuk adab yang kurang baik. Ibnu Umar ra berkata, "Tatkala ada sesseorang bersendawa di hadapan Rasulullah saw, beliau bersabda, "Tahanlah sendawamu dari hadapan kami, sesungguhnya yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling lama laparnya pada hari Kiamat." (Terjemahan HR Trmidzi 2/78, Ibnu Majah: 3350, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihan: 343) 23. Shalat Sambil Duduk Nabi saw bersabda, "Shalat dengan duduk pahalanya separuhnya shalat dengan berdiri." (Terjemahan HR Nasai: 1659, Ibnu Majah: 1229; dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 3033) Hadits di atas ditujukan orang yang pernah shalat sunnah dengan duduk padahal ia bisa berdiri. Jadi, ketika dia shalat sunnah dalam keadaan duduk karena tidak mampu berdiri, maka pahalanya tidak berkurang karena posisinya yang duduk tersebut. Nabi saw bersabda, "Jika seseorang sedang sakit atau musafir, maka dia dicatat seperti apa yang ia amalkan sebelumnya pada saat muqim lagi sehat." (Terjemahan HR Bukhari: 2774) Bagaimana dengan shalat wajib? Jika shalat wajib dilakukan dengan duduk padahal mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah, tidak berpahala, bahkann ia berdosa. Hal in karena berdiri jika mampu merupakan rukun shalat. Wallahu a'lam bishshawab. Alhamdulillah selesai juga merangkumnya :) Silakan disebarkan ^^ baik secara lisan maupun tulisan. Mungkin ada yang mau menambahkan lagi atau berdiskusi.. Sumber: Majalah Al-Furqon--> 1. Edisi 9 Th. ke-11 Rabi'ul Akhir 1433 [Feb-Mar '12] 2. Edisi 12 Th. ke-11 Rajab 1433 [Mei-Juni '12]