Tersebutlah seorang lelaki. Penyuka rasionalitas dan kebebasan berpendapat. Menahan ide, pemikiran, dan tanggapan atas sesuatu bukanlah pilihan favoritnya. Tak sungkan untuk mengkritik jika tidak suka dan memberi pujian atas karya.
Suatu hari, fenomena yang diakui sebagai sesuatu yang tidak rasional oleh masyarakat dunia harus dihadapi. belum ada pengalaman setara yang dihadapinya selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya. segala teori dan testimoni dari yang berpengalaman dikumpulkan. Namun dunia telah menjatuhkan hukum atasnya, ya sesuatu yang tidak rasional terbukti tidak rasional hingga saat ini. mengaduk aduk pemikiran dan perasaan tanpa kerangka dan alur yang jelas.
Sang lelaki harus berurusan dengan lawannya. Untuk menang diperlukan ketaatan pada etiket sosial yang berlaku, menjaga perasaan sang lawan dari perasaannya. Tak ayal lagi hasrat berbicara secara bebasnya terkekang. Bibirnya terkunci oleh gembok gembok norma. Hatinya membengkak hingga menyesakkan dada. Bagai ingin mengehembuskan nafas namun terjadi penyempitan di trakea. Melihat perdebatan dan mengkaji teori konspirasipun belum dapat menjernihkan pikirannya serta meredakan gemuruh di dadanya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk membagi beban. Maka hanya Tuhan yang bisa diharapkan. Akankah ritual-ritualnya menyembuhkan?. Apakah bendera putih dan mundur perlahan adalah jawaban?. Apakah beradaptasi dengan etiket sosial itu hanyalah pilihan?
0 komentar:
Posting Komentar